BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Autisme
sebuah sindrom gangguan perkembangan sistem syaraf pusat yang ditemukan pada
sejumlah anak ketika masa kanak – kanak hingga masa – masa sesudahnya.
Ironisnya, sindrom tersebut membuat anak – anak yang menyandangnya tidak mampu
menjalin hubungan sosial secara normal bahkan tidak mampu untuk menjalin
komunikasi dua arah (Wijayakusuma, 2004)
Varian
symptom yang dimiliki oleh setiap anak dengan sindrom autisme berbeda – beda.
Ada varian symptom yang ringan dan ada juga yang berat. Akan tetapi, secara umum
dapat dispesifikasikan kedalam tiga hal yang mencakup kondisi mental, kemampuan
berbahasa serta usia si anak.
Sebagai
sindrom, autisme dapat disandang oleh seluruh anak dari berbagai tingkat sosial
dan kultur. Hasil survai yang diambil dari beberapa negara menunjukan bahwa 2 –
4 anak per 10.000 anak berpeluang menyandang austime dengan rasio perbandingan
3 : 1 untuk anak laki – laki dan perempuan. Dengan kata lain, anak laki – laki
lebih rentan menyandang sindrom autisma dibandingkan anak perempuan. Bahkan
diprediksikan oleh para ahli bahwa kuantitas anak autisme pada tahun 2010 akan
mencapai 60 % dari keseluruhan populasi anak di seluruh dunia.
Survei
menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari ibu-ibu kalangan ekonomi menengah
keatas. Ketika dikandung asupan gizi ke ibunya tidak seimbang.
Sejak
autisme mulai dapat dijabarkan dan dikenal mendunia, berbagai jenis penyembuhan
telah dilakuan. Beberapa implementasi penyembuhan tersebut bukan hanya bersifat
psikis, tetapi juga fisik, mental, emosional hingga fisiologis. Tetapi
penyembuhan yang diterapkanpun dilakukan dengan berbagai varian teknik,
diantaranya teknik belajar dan bermain yang dapat dilakukan secara verbal
maupun non verbal.
Dari
beberapa jenis terapi yang telah diimplementasikan secara meluas, ada yang
melibatkan peran serta orang tua dan ada juga yang tidak. Ada yang dapat
dilakukan sendiri oleh orang tua dirumah dan ada juga terapi yang memerlukan
bantuan sejumlah ahli atau terapis. Inti dari sejumlah terapi tersebut
dimaksudkan untuk mengeliminir berbagai symptom yang diperlihatkan oleh seorang
anak autisme yang tentunya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkatan
sindrom yang disandang anak.
Yang
terpenting, terapi yang diberikan kepada setiap anak autisme hendaknya tetap
melibatkan peran serta orang tua secara aktif. Tujuannya agar setiap orang tua
merasa memiliki andil atas kemajuan yang dicapai anak autisma mereka dalam
setiap fase terapi. Dengan kata lain, orang tua tidak hanya memasrahkan
perbaikan anak autisme kepada para ahli atau terapis tetapi juga turut
menentukan tingkat perbaikan yang perlu dicapai oleh sianak. Dengan demikian,
akan terbentuk suatu ikatan emosional yang lebih kuat antara orang tua dengan
anak autismenya dan hal ini diharapkan akan mendukung perkembangan emosional dan
mental si anak menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Yang
melatar belakangi pembuatan askep yang berjudul autisme yaitu adanya penugasan
dari dosen mata kuliah keperawatan jiwa dan keingintahuan kami mengenai konsep
dasar dan askep autisme itu sendiri.
1.2
Runusan Masalah
1.
Apakah definisi dari autisme ?
2.
Ada berapa pengelompokan autisme ?
3.
Bagaiman etiologi autisme ?
4.
bagaimana karakteristik autisme ?
5.
Bagaimana penatalaksanaan autisme ?
6.
bagaimana askep autisme ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Pembaca
dapat memahami mengenai konsep dasar dan askep autisme.
2. Tujuan khusus
Setelah membaca
askep ini, pembaca mampu :
·
Menjelaskan definisi dari
autisme
·
Menjelaskan pengelompokan autisme
·
Menjelaskan penatalaksanaan autisme
·
Menjelaskan karakteristik
autisme
·
Menjelaskan etiologi
autisme
·
Menjelaskan askep autisme
BAB II
KONSEP TEORI
2.1
Definisi
Autisme adalah suatu kondisi
mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang
membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal.
Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive,
aktivitas dan minat yang obsesif.
(Baron-Cohen, 1993).
Autisme masa kanak-kanak dini
adalah penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas atau orang lain.
Pada bayi tidak terlihat tanda dan gejala. (Sacharin, R, M, 1996 : 305)
Autisme adalah sebuah sindrom
gangguan perkembangan sistem syaraf pusat yang ditemukan pada sejumlah anak
ketika masa kanak – kanak hingga masa – masa sesudahnya. Ironisnya, sindrom
tersebut membuat anak – anak yang menyandangnya tidak mampu menjalin hubungan
social secara normal bahkan tidak mampu untuk menjalin komunikasi dua arah
(Wijayakusuma, 2004)
2.2
Pengelompokan Autisme
Dr. Faisal
Yatim mengelompokan autisme menjadi 3 kelompok, yaitu :
1.
Autisme Persepsi
Autisme ini dianggap
sebagai autisme asli dan disebut autisme internal karena kelainan sudah timbul
sebelum lahir.
2.
Autisme Reaksi
Autisme ini biasanya
mulai terlihat pada anak – anak usia lebih besar (6 – 7 tahun) sebelum anak
memasuki memasuki tahap berfikir logis. Tetapi bisa juga terjadi sejak usia
minggu – minggu pertama. Penderita autisme reaktif ini bisa membuat gerakan –
gerakan tertentu berulang – ulang dan kadang – kadang disertai kejang – kejang.
3.
Autisme yang Timbul Kemudian
Faisal Yatim pun
memberikan tip – tip untuk mengelola penderita anak autisme, berikut ini :
o Menentukan terlebih dulu masalah penyimpangan perilaku dan
perilaku yang mana kira – kira yang perlu ditingkatkan
o Menentukan berapa seringnya penyimpangan perilaku tersebut
o Menentukan apa faktor pencetus timbulnya penyimpangan perilaku
tersbut
o Menentukan perubahan mana yang perlu untuk meningkatkan atau
mengurangi penyimpangan perilaku
o Meyakinkan dan mengusahakan agar semua pihak yang terlibat ikut
peduli dengan program tersebut
o Memeriksa dan mengusahakan agar semua program yang direncanakan
bisa berjalan dengan konsisten
o Mengadakan penilaian program secara teratur dan jangan terlalu
mengharapkan hasilnya dalam waktu singkat
o Mengadakan modifikasi atau menghentikan program setelah hasil
yang anda harapkan tercapai, ingat, beberapa jenis kelainan perilaku tidak
mudah untuk diubah. Salah seorang ahli manganjurkan 3 bulan setelah program
dilaksanakan baru dilakukan penilaian apakah berhasil atau gagal
o Memberikan permainan rutin dan tetep merupakan jenis pengobatan
bagi anak autisme, yang bisa mengurangi kecemasan dan meningkatkan rasa aman
dalam dunianya
o Bergaul akrab dengan penderita, menuntun dalam berjalan,
misalnya waktu berekreasi juga dianjurkan oleh para professional. Pengobatan
secara psikologi dan bermain termasuk yang dianjurkan.
Danuatmaja (2003)
menyebutkan beberapa hal yang diduga menjadi faktor penyebab terjadinya
autisme, yaitu antara lain:
a. Gangguan Susunan Saraf Pusat
Ditemukan kelainan neuroanatomi
(anatomi susunan saraf pusat) pada beberapa tempat didalam otak anak autis.
Banyak anak autis mengalami pengecilan otak kecil, terutama pada lobus VI-VII.
Seharusnya, dilobus VI-VII banyak terdapat sel purkinje. Namun, pada anak autis jumlah sel purkinje sangat kurang. Akibatnya, produksi serotonin kurang,
menyebabkan kacaunya proses penyaluran informasi antar-otak. Selain itu,
ditemukan kelainan struktur pada pusat emosi di dalam otak sehingga emosi anak
autis sering terganggu. Penemuan ini membantu dokter menentukan obat yang lebih
tepat. Obat-obatan yang banyak dipakai adalah dari jenis psikotropika yang
bekerja pada susunan saraf pusat. Hasilnya menggembirakan karena dengan
mengkonsumsi obat-obatan ini pelaksanaan terapi lainnya lebih mudah. Anak lebih
mudah untuk diajak bekerja sama.
a. Gangguan Sistem
Pencernaan
Ada
hubungan gangguan pencernaan dengan gejala autis. Tahun 1997, seorang pasien
autis, Parker Beck, mengeluhkan gangguan pencernaan yang sangat buruk.
Ternyata, ia kekurangan enzim sekretin. Setelah mendapat suntikan sekretin,
Beck sembuh dan mengalami kemajuan yang luar biasa (Budhiman, 2002) . Kasus ini memicu
penelitian-penelitian selanjutnya pada gangguan metabolism pencernaan.
b.
Peradangan Dinding Usus
Berdasarkan pemeriksaan endoskopi
atau peneropongan usus pada sejumlah anak autis yang memiliki pencernaan buruk
ditemukan adanya peradangan usus pada sebagian besar anak (Budhiman, 2002) . Dr. Andrew ahli pencernaan
asal Inggris, menduga peradangan tersebut disebabkan virus, mungkin virus
campak. Itu sebabnya, banyak orangtua yang kemudian menolak imunisasi MMR (measles, mumps, rubella) karena diduga
menjadi biang keladi autis pada anak. Temuan Wakefield diperkuat sejumlah riset
ahli medis lainnya.
Namun teori ini hingga sekarang
masih kontroversial mengenai vaksinasi MMR yang diberikan pada usia 15 bulan,
juga teori penggunaan antibiotik, stres, merkuri dan berbagai toksin yang ada
di lingkungan. Tetapi semua mungkin hanya merupakan pemicu saja, yang bias
terjadi pada anak yang sudah mempunyai riwayat genetik. Di antara berbagai
teori tersebut, teori yang berhubungan dengan diet sampai sekarang masih ramai
dibicarakan (Sari, 2009) .
a.
Faktor genetika.
Ditemukan
20 gen yang terkait dengan autisme. Namun, gejala autisme baru muncul jika
terjadi kombinasi banyak gen. bias saja autisme tidak muncul, meski anak
membawa gen autisme. Jadi perlu faktor pemicu lain.Hasil penelitian terhadap
keluarga dan anak kembar menunjukkan adanya faktor genetik yang berperan dalam
perkembangan autisme. Pada anak kembar satu telur ditemukan sekitar 36 – 89 %,
sedang pada anak kembar dua telur 0 %. Pada penelitian terhadap keluarga
ditemukan 2,5 – 3 % autisme pada saudara kandung, yang berarti 50 - 100 kali
lebih tinggi dibandingkan pada populasi normal (Masra, 2002)
b.
Keracunan logam berat.
Berdasarkan
tes laboratorium yang dilakukan pada rambut dan darah ditemukan kandungan logam
berat dan beracun pada banyak anak autis. Diduga, kemampuan sekresi logam berat
dari tubuh terganggu secara genetik. Penelitian selanjutnya menemukan logam
berat seperti arsenik (As), antimoni (Sb), kadmium (Cd), raksa (Hg), dan timbal
(Pb) adalah racun otak yang sangat kuat. Tahun 2000, Sallie Bernard, ibu dari
anak autis, menunjukan penelitiannya, gejala yang diperlihatkan anak-anak autis
sama dengan keracunan merkuri. Dugaan ini diperkuat dengan membaiknya gejala
autis setelah anak-anak mlakukan terapi kelasi (merkuri dikeluarkan dari otak
dan tubuh mereka) (Budhiman, 2002)
c.
Alergi.
Beberapa penelitian menunjukkan keluhan
autisme dipengaruhi dan diperberat oleh banyak hal, salah satunya karena
manifestasi alergi. Dari penelitian yang pernah dilakukan, dilaporkan bahwa
autisme berkaitan erat dengan alergi (Judarwanto, 2004) .
Penelitian lain menyebutkan setelah
dilakukan eliminasi makanan beberapa gejala autisme tampak membaik secara
bermakna. Hal ini dapat juga dibuktikan dalam beberapa penelitian yang
menunjukkan adanya perbaikan gejala pada anak autisme yang menderita alergi,
setelah dilakukan penanganan eliminasi diet alergi. Beberapa laporan lain
mengatakan bahwa gejala autisme semakin memburuk bila manifestasi alergi muncul
(Judarwanto, 2004) .
a.
Teori disfungsi metabolik. Amino phenolik banyak
ditemukan di berbagai makanan, dan dilaporkan
bahwa komponen utamanya dapat menyebabkan terjadinya gangguan tingkah
laku pada pasien autis. Makanan yang mengandung amino phenolic itu adalah : terigu (gandum), jagung, gula, coklat,
pisang, apel. Sebuah publikasi dari Lembaga Psikiatri Biologi menemukan bahwa
anak autis mempunyai kapasitas rendah untuk menggunakan berbagai komponen
sulfat sehingga anak-anak tersebut tidak mampu memetabolisme komponen amino phenolic. Komponen amino phenolic merupakan bahan baku
pembentukan neurotransmiter; jika
komponen tersebut tidak dimetabolisme baik akan terjadi akumulasi katekolamin
yang toksik bagi saraf.
b.
Teori infeksi kandida.Ditemukan beberapa Strain candida di saluran pencernaan
dalam jumlah sangat banyak saat
menggunakan antibiotik yang nantinya akan menyebabkan terganggunya flora normal
anak. Laporan menyebutkan bahwa infeksi Candida
albicans berat bisa dijumpai pada anak yang banyak mengkonsumsi makanan
yang banyak mengandung yeast dan karbohidrat, karena pada makanan tersebut Candida dapat tumbuh subur. Makanan jenis
ini dilaporkan menyebabkan anak menjadi autis. Penelitian sebelumnya menemukan
adanya hubungan antara beratnya infeksi Candida
albicans dengan gejala-gejala menyerupai autis, seperti gangguan berbahasa,
gangguan tingkah laku dan penurunan kontak mata. (Adams and Conn, 1997). Tetapi
Dr Bernard Rimland, seorang peneliti terkemuka di bidang autis, mengatakan
bahwa sampai sekarang hubungan antara keduanya kemungkinannya masih sangat
kecil.
c.
Teori kelebihan opiod dan hubungan gluten dan protein
kasein. Teori ini mengatakan bahwa pencernaan anak autis terhadap kasein dan
gluten tidak sempurna. Kedua protein ini hanya terpecah sampai polipeptida.
Polipeptida dari kedua protein tersebut terserap ke dalam aliran darah dan menimbulkan efek morfin di otak anak. Di membran
saluran cerna kebanyakan pasien autis ditemukan pori-pori yang tidak lazim,
yang diikuti dengan masuknya peptida ke dalam darah. Hasil metabolisme gluten
adalah protein gliadin. Gliadin akan berikatan dengan reseptor opioid C dan D.
Reseptor tersebut berhubungan dengan mood dan tingkah laku. Diet sangat ketat
bebas gluten dan kasein menurunkan kadar peptida opioid serta dapat
mempengaruhi gejala autis pada beberapa anak. Dengan demikian implementasi diet
merupakan terobosan yang baik untuk memperoleh kesembuhan pasien.
Protein gluten terdapat pada terigu,
sereal, gandum yang biasa dipakai dalam pembuatan bir serta gandum hitam
sedangkan protein kasein ditemukan mempunyai aktivitas opiod saat protein tidak
dapat dipecah.
Dari penelitian
Whiteley, Rodgers, Savery dan Shattock (1999), 22 anak autis mendapat diet
bebas gluten selama 5 bulan dibandingkan dengan 5 anak autis yang tetap diberi
diet mengandung gluten dan 6 pasien autis yang digunakan sebagai kelompok
kontrol. Setelah 3 bulan, pada diet bebas gluten terjadi perbaikan verbal dan
komunikasi non verbal, pendekatan afektif, motorik, dan kemampuan anak untuk
perhatian serta tidur jadi lebih baik. Sedangkan pada kelompok makanan yang
masih mengandung gluten justru semuanya memburuk. Meskipun penelitian ini masih
menggunakan jumlah pasien yang sangat kecil, tapi cukup bisa diterima sampai
sekarang.
Pentingnya penanganan
diet pada pasien autis tak kalah pentingnya dari farmakoterapi dan fisioterapi,
untuk itulah masalah alergi makanan pada anak dengan gangguan spektrum autisme
harus dilakukan secara holistik.
1.
Epidemiologi
Prevalensi atau
peluang timbulnya penyakit autisme semakin tinggi. Dua puluh tahun yang lalu
hanya 2 sekitar 1 dari 10.000 anak kena autis. Lima tahun yang lalu 1 dari
1000, satu tahun yang lalu 1 dari 166 anak, dan saat ini 1 dari 150 anak atau
setiap tahun timbul sekitar 9000 anak autis baru (Dwinoto, 2008) .Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta,
hingga saat ini belum diketahui persis jumlah anak autis namun diperkirakan
dapat mencapai 150 -200 ribu orang. Perbandingan laki dan perempuan 4 : 1,
namun pasien anak perempuan akan menunjukkan gejala yang lebih berat.Sebagai
sindrom, autisme dapat disandang oleh semua anak dari berbagai tingkat sosial
dan kultur. Hasil survai dari beberapa Negara menunjukkan bahwa 2 - 4 anak per
10.000 anak berpeluang menyandang autis dengan rasio 3 : 1 untuk anak laki-laki
dan perempuan; anak laki-laki lebih rentan menyandang sindrom autisme
dibandingkan anak perempuan (Sari, 2009) .Anak
laki-laki memiliki hormon testosteron yang mempunyai efek yang bertolak
belakang dengan hormon estrogen pada perempuan, hormon testosteron menghambat
kerja RORA (retinoic acid-related orphan
receptor-alpha)
yang berfungsi mengatur fungsi otak, sedangkan estrogen meningkatkan kinerja RORA (Darmawan, 2009) .
2.
Gejala
Secara umum ada beberapa gejala autisme, yang akan tampak
semakin jelas saat anak mencapai usia 3 tahun, yaitu:
a.
Gangguan dalam komunikasi verbal
maupun non verbal seperti terhambat bicara, mengeluarkan kata-kata dalam
bahasanya sendiri yang tidak dapat dimengerti, echolalia, dan ssering meniru dan mengulang kata tanpa ia mengerti
maknanya.
b.
Gangguan dalam interaksi sosial,
seperti menghindar kontak mata, tidak melihat jika dipanggil, menolak untuk
dipeluk, dan lebih suka bermain sendiri.
c.
Gangguan pada bidang perilakuyang
terlihat dan adanya perilaku yang berlebih (excesive) dan kekurangan
(deficient), seperti impulsive, hiperaktif, repetitive, namun dilain waktu
terkesan pandangan yang sama dan monoton. Kadang-kadang ada kelekatan pada
benda tertentu, seperti gambar, karet, dan lain-lain, yang dibawanya
kemana-mana.
d.
Gangguan pada bidang
perasaan/emosi, seperti kurangnya empati, simpati dan toleransi. Kadang-kadang
tertawa dan marah sendiri tanpa sebab yang nyata dan sering mengamuk tanpa
kendali bila tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.
e.
Gangguan dalam persepsi sensoris
seperti mencium-cium dan menggigit mainan atau benda, bila mendengar suara
tertentu langsung menutup telinga, tidak menyukai rabaan dan pelukan, dan
seterusnya.
Gejala-gejala tersebut di atas tidak harus ada semua pada
setiap anak autisme, tergantung dari berat ringannya gangguan yang diderita
anak (Wardhani,
2008)
|
Tabel
1. Kriteria DSM – IV untuk Autisme Masa Kanak
|
2.4
Karakteristik
Beberapa atau
keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para
penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga
terberat sekalipun.
1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di
sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola
perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta
spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat
intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak
'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga
sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia).
Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema
yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian,
selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari
berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua
dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang
terlihat. The
National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis
perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia
24 bulan
5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada
usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas
tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena
karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus
mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya
yang memahami persoalan autisme.
2.5Cara Mengetahui Autisme pada
Anak Sejak Dini
Anak mengalami
autisme dapat dilihat dengan:
a.
Orang tua harus mengetahui
tahap-tahap perkembangan normal.
b.
Orang tua harus mengetahui
tanda-tanda autisme pada anak.
c.
Observasi orang tua, pengasuh,
guru tentang perilaku anak dirumah, diteka, saat bermain, pada saat
berinteraksi sosial dalam kondisi normal.
Tanda autis berbeda
pada setiap interval umumnya.
a.
Pada usia 6 bulan sampai 2 tahun
anak tidak mau dipeluk atau menjadi tegang bila diangkat ,cuek menghadapi
orangtuanya, tidak bersemangat dalam permainan sederhana (ciluk baa atau kiss
bye), anak tidak berupaya menggunakan kat-kata. Orang tua perlu waspada bila
anak tidak tertarik pada boneka atau binatan gmainan untuk bayi, menolak
makanan keras atau tidak mau mengunyah, apabila anak terlihat tertarik pada
kedua tangannya sendiri.
b.
Pada usia 2-3 tahun dengan gejal
suka mencium atau menjilati benda-benda, disertai kontak mata yang terbatas,
menganggap orang lain sebagai benda atau alat, menolak untuk dipeluk, menjadi
tegang atau sebaliknya tubuh menjadi lemas, serta relatif cuek menghadapi kedua
orang tuanya.
c.
Pada usia 4-5 tahun ditandai
dengan keluhan orang tua bahwa anak merasa sangat terganggu bila terjadi rutin
pada kegiatan sehari-hari. Bila anak akhirnya mau berbicara, tidak jarang
bersifat ecolalia (mengulang-ulang apa yang diucapkan orang lain segera atau
setelah beberapa lama), dan anak tidak jarang menunjukkan nada suara yang aneh,
(biasanya bernada tinggi dan monoton), kontak mata terbatas (walaupun dapat
diperbaiki), tantrum dan agresi berkelanjutan tetapi bisa juga berkurang,
melukai dan merangsang diri sendiri.
2.6
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis
yang ditemuai pada penderita Autisme :
a.
Penarikan diri, Kemampuan
komunukasi verbal (berbicara) dan non verbal yang tidak atau kurang berkembang
mereka tidak tuli karena dapat menirukan lagu-lagu dan istilah yang
didengarnya, serta kurangnya sosialisasi mempersulit estimasi potensi
intelektual kelainan pola bicara, gangguan kemampuan mempertahankan percakapan,
permainan sosial abnormal, tidak adanya empati dan ketidakmampuan berteman.
Dalam tes non verbal yang memiliki kemampuan bicara cukup bagus namun masih
dipengaruhi, dapat memperagakan kapasitas intelektual yang memadai. Anak austik
mungkin terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan bakat orang dewasa
terpelajar yang idiot dan menghabiskan waktu untuk bermain sendiri.
b.
Gerakan tubuh stereotipik,
kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat yang sempit, keasyikan dengan
bagian-bagian tubuh.
c.
Anak biasa duduk pada waktu lama
sibuk pada tangannya, menatap pada objek. Kesibukannya dengan objek berlanjut
dan mencolok saat dewasa dimana anak tercenggang dengan objek mekanik.
d.
Perilaku ritualistik dan konvulsif
tercermin pada kebutuhan anak untuk memelihara lingkungan yang tetap (tidak
menyukai perubahan), anak menjadi terikat dan tidak bisa dipisahkan dari suatu
objek, dan dapat diramalkan .
e.
Ledakan marah menyertai gangguan
secara rutin.
f.
Kontak mata minimal atau tidak
ada.
g.
Pengamatan visual terhadap gerakan
jari dan tangan, pengunyahan benda, dan menggosok permukaan menunjukkan
penguatan kesadaran dan sensitivitas terhadap rangsangan, sedangkan hilangnya
respon terhadap nyeri dan kurangnya respon terkejut terhadap suara keras yang
mendadak menunjukan menurunnya sensitivitas pada rangsangan lain.
h.
Keterbatasan kognitif, pada tipe
defisit pemrosesan kognitif tampak pada emosional
i.
Menunjukan echolalia (mengulangi
suatu ungkapan atau kata secara tepat) saat berbicara, pembalikan kata ganti
pronomial, berpuisi yang tidak berujung pangkal, bentuk bahasa aneh lainnya
berbentuk menonjol. Anak umumnya mampu untuk berbicara pada sekitar umur yang
biasa, kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun.
j.
Intelegensi dengan uji psikologi
konvensional termasuk dalam retardasi secara fungsional.
k.
Sikap dan gerakan yang tidak biasa
seperti mengepakan tangan dan mengedipkan mata, wajah yang menyeringai,
melompat, berjalan berjalan berjingkat-jingkat.
Ciri yang khas pada anak yang austik :
a.
Defisit keteraturan verbal.
b.
Abstraksi, memori rutin dan
pertukaran verbal timbal balik.
c.
Kekurangan teori berfikir (defisit
pemahaman yang dirasakan atau dipikirkan orang lain).
Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak autisme adalah:
a.
Interaksi sosial dan perkembangan
sossial yang abnormal.
b.
Tidak terjadi perkembangan
komunikasi yang normal.
c.
Minat serta perilakunya terbatas,
terpaku, diulang-ulang, tidak fleksibel dan tidak imajinatif.Ketiga-tiganya
muncul bersama sebelum usia 3 tahun.
2.7 Penatalaksanaan Autisme
1.
Terapi Perilaku
Terapi perilaku yang
dikenal di seluruh dunia adalah Applied
Behavioral Analysis yang diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University
of California Los Angeles (UCLA) (Rudy, 2007) . Dalam terapi
perilaku, fokus penanganan terletak pada pemberian reinforcement positif setiap
kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan
tetapi bila anak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons
sama sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement
positif yang ia sukai tersebut. Perlakuan ini diharapkan meningkatkan
kemungkinan anak untuk berespons positif dan mengurangi kemungkinan ia
berespons negatif (atau tidak berespons) terhadap instruksi yang diberikan (Muhardi, 2009) . Dalam suatu penelitian dikatakan
dengan terapi yang intensif selama 1-2
tahun, anak yang masih muda ini dapat berhasil meningkatkan IQ dan fungsi
adaptasinya lebih tinggi dibanding kelompok anak yang tidak memperoleh terapi
intensif. Bahkan pada akhir terapi sekitar 42% dapat masuk ke sekolah umum (Gamayanti, 2003) . Menurut Sutadi (2003), walaupun tidak
bisa disembuhkan 100 persen, autis dapat dilatih melalui terapi sedini mungkin
sehingga ia bisa tumbuh normal. Alasannya karena hasil penatalaksanaan terapi
setelah usia lima tahun akan berjalan lebih lambat.
2. Terapi Biomedik
Terapi biomedik
merupakan penanganan secara biomedis melalui perbaikan metabolism tubuh serta
pemberian obat-obatan oleh dokter yang berwenang, vitamin dan obat yang
dianjurkan adalah vitamin B6, risperidone,
dll (Veskarisyanti, 2008) . Sedangkan menurut
Handojo (2008), obat- obatan yang dipakai terutama untuk penyandang autisme,
sifatnya sangat individual dan perlu berhati-hati. Dosis dan jenisnya sebaiknya
diserahkan kepada Dokter Spesialis yang memahami dan mempelajari autisme
(biasanya Dokter Spesialis Jiwa Anak). Baik obat maupun vitamin hendaknya
diberikan secara sangat berhati-hati, karena baik obat maupun vitamin dapat
memberikan yang tidak diinginkan. Vitamin banyak dicampurkan pada nutrisi
khusus, karena itu telitilah lebih dahulu sebelum membeli dan memberikannya
kepada penyandang autisme. Terapi biomedik tidak menggantikan terapi‐terapi yang telah ada, seperti
terapi perilaku, wicara, okupasi dan integrasi sensoris. Terapi biomedik
melengkapi terapi yang telah ada dengan memperbaiki “dari dalam”. Dengan
demikian diharapkan bahwa perbaikan akan lebih cepat terjadi (Muhardi, 2009) .
3. Terapi Integrasi Sensori
Integrasi sensoris
berarti kemampuan untuk mengolah dan mengartikan seluruh rangsang sensoris yang
diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan kemudian menghasilkan respons yang
terarah.
Disfungsi dari
integrasi sensoris atau disebut juga disintegrasi sensoris berarti ketidak
mampuan untuk mengolah rangsang sensoris yang diterima. Gejala adanya
disintegrasi sensoris bisa tampak dari : pengendalian sikap tubuh, motorik
halus, dan motorik kasar. Adanya gangguan dalam ketrampilan persepsi ,
kognitif, psikososial, dan mengolah rangsang. Namun semua gejala ini ada juga
pada anak dengan diagnosa yang berbeda (Handojo, 2008) .
4. Terapi Okupasi
Hampir semua anak
autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak‐geriknya kaku dan kasar, mereka
kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk
memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal
ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot ‐otot halusnya dengan benar (Muhardi, 2009) .
5. Psikoterapi
Psikoterapi merupakan
terapi khusus bagi anak autisme yang dalam pelaksanaannya harus meibatkan peran
aktif dari orang tua. Psikoterapi menggunakan teknik bermain kreatif verbal dan
non verbal yang memungkinkan orang tua lebih mendekatkan diri kepada anak
autisme mereka dan lebih mengenal lagi berbagai kondisi anak secara mendetail
guna membantu proses penyembuhan anak.
6. Terapi Diet
a. Diet bebas
gluten dan bebas kasein. Pada umumnya, orangtua mulai dengan diet tanpa gluten
dan kasein, yang berarti menghindari makanan dan minuman yang mengandung gluten
dan kasein. Gluten adalah protein yang secara alami terdapat dalam keluarga
“rumput” seperti gandung/terigu, havermuth/oat,
dan barley. Gluten memberi kekuatan
dan kekenyalan pada tepung terigu dan tepung bahan sejenis. Sedangkan jenis
bahan makanan sumber kasein adalah susu sapi segar (mengandung 80% kasein),
susu skim, tepung susu, dan produk olahan susu seperti, keju, mentega, margarine, krim, yoghurt, es krim (Hariyadi, 2009) .
Meskipun masih kontroversial
namun teori adanya kelainan peptida di otak yaitu ditemukannya gliodorphin dan casomorphin, adanya zat tersebut pada penderita dapat dideteksi
dengan pemeriksaan tes peptida urin dimana ditemukan zat sejenis opioid yang
merupakan hasil pencernaan yang tidak sempurna dari gluten dan kasein (Prabaningrum & Wardhani, 2008) . Hal ini yang
mendasari diet bebas gluten dan kasein bagi penyandang autisme karena gluten
dan kasein dapat menjadi racun / toksik bila dikonsumsi (Veskarisyanti, 2008) . Pada orang sehat,
mengonsumsi gluten dan kasein tidak akan menyebabkan masalah yang serius/memicu
timbulnya gejala. Pada umumnya, diet ini tidak sulit dilaksanakan karena
makanan pokok orang Indonesia adalah nasi yang tidak mengandung gluten.
Perbaikan/penurunan gejala autisme dengan diet khusus biasanya dapat dilihat
dalam waktu antara 1‐3
minggu. Menghindari makanan sumber gluten dan kasein meningkatkan perbaikan 65%
anak autis. Apabila setelah beberapa bulan menjalankan diet tersebut tidak ada
kemajuan, berarti diet tersebut tidak cocok dan anak dapat diberi makanan
seperti sebelumnya (Muhardi, 2009) . Hasil penelitian
oleh Ishak (2008), menyebutkan bahwa
terdapat pengaruh pemberian diet terhadap perkembangan anak autisme. Sedangkan
menurut Hyman (2010), tidak ada efek khusus pada perkembangan prilaku dengan
terapi diet bebas gluten dan kasein dikatakan juga diet gluten dan casein tidak
berkaitan dengan sifat agresif penderita autisme dan kinerja usus mereka,
dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhinya, sehingga harus diketahui terapi
mana yang paling sesuai dan efektif pada masing-masing anak. Didalam penelitan Hyman (2010), responden penelitian tidak
mengalami perubahan dalam pola aktivitas dan frekuensi tidur. Anak-anak
menunjukkan peningkatan kecil dalam sosial, bahasa dan minat setelah diberikan
terapi gluten dan kasein dan diukur
gejala yang timbul dengan Ritvo Freeman
Real Life Rating Scale namun tidak mencapai signifikansi statistik
b.
Diet bebas zat aditif. Zat aditif terdiri dari pewarna, penambah rasa sintetis, aspartam,
nitrat pada makanan, dan pestisida yang mungkin ada dalam makanan dapat memperparah
keadaan anak autis (Hariyadi, 2009) . Contoh bahan
makanan yang mengandung zat aditif adalah sosis, kornet, chicken nugget dan lain-lain. Beberapa zat pewarna merusak DNA yang menyebabkan mutasi genetik.
Sedangkan zat penambah rasa seperti MSG
dapat mempengaruhi saraf otak (Sunartini, 2003) .
c.
Diet bebas fenol
dan salisilat. Sejak The Feingold Diet
(salah satu jenis pengaturan pola makan) diperkenalkan banyak orang melihat
bahwa salisilat mempunyai efek buruk bagi penyandang autisme. Bahan makanan
yang harus dihindari adalah almond,
apel, tomat, mangga muda dan alpokat. Efek yang dimungkinkan dari bahan makanan
yang mengandung salisilat dapat memperberat kebocoran usus (Budhiman, 2002) . Diet bebas fenol dimaksudkan untuk menghindari
jenis bahan makanan yang memerlukan ion sulfat untuk metabolisme karena dapat
memperburuk sistem pencernaan. Khusus bagi anak autisme, bahan makanan ini
berupa jus apel, jus jeruk, coklat, dan anggur merah (Hariyadi, 2009) .
d.
Pemberian suplemen makanan. Selain pengaturan pola
makan, disarankan juga untuk mengkonsumsi berbagai suplemen bagi anak autisme.
Suplemen-suplemen tersebut adalah vitamin C, mineral Zn, enzim, melatonin (semacam hormone untuk
memperbaiki jam biologis tubuh) dan kalsium (Budhiman, 2002) .
BAB
III
ASUHAN
KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas
pasien
2. data subyektif
dan obyektif
a.
Kegagalan untuk membentuk hubungan
antar pribadi, dicirikan oleh sifat tidak responsif pada orang; kurangnya
kontak mata dan sifat responsif pada wajah, pengabaian atau keengganan
terhadapa kasih sayang dan kontak fisik. Pada awal masa kanak-kanak, ada
kegagalan untuk mengembangkan kerjasama dalam bermain dan persahabatan.
b.
kelainan pada komunikasi (verbal
dan non verbal), dicirikan oleh tidak adanya bahasa atau jika dikembangkan,
sering adanya struktur gramatik yang tidak matang, penggunaan kata-kata yang
tidak benar, ekolalia atau ketidakmampuan untuk menggunakan batasan-batasan
abstrak. Ekspresi non verbal yang menyertai bisa menjadi tidak sesuai atau
tidak ada.
c.
Respon-respon kacau terhadap
lingkungan, dicirikan oleh perlawanan atau reaksi-reaksi perilaku yang ekstrem
terhadap peristiwa-peristiwa kecil, kasih sayang yang mengganggu pikiran yang
tidak normal terhadap benda-benda aneh, perilaku - perilaku yang ritualisitik.
d.
Rasa tertari yang ekstrem terhadap
benda-benda yang bergerak (mis, kipas angin, kereta api). Minat khusus terhadap
musik, bermain-main dengan air, kancing atau bagian dari tubuh.
e.
Tuntutan yang tidak beralasan
terhadap keharusan untuk mengikuti kebiasaan sehari-hari dengan rincian yang
tepat (Misalnya : menuntut keharusan untuk selalu mengikuti rute yang sama
apabila pergi berbelanja).
f.
Kesusahan yang terlihat terhadap
perubahan-perubahan pada aspek-aspek yang sepele dari lingkungan (misalnya :
Apabila vas bunga dipindahkan dari tempat biasanya).
g.
Gerakan-gerakan tubuh stereotip
(Misalnya : menjetik - jentikan tangan atau memilin - milin tangan, berputar -
putar, gerakan seluruh tubuh yang kompleks).
3. pemeriksaan
penunjang :
Darah, urine dan faeces u/ mengetahui :
·
Gangguan pencernaan
·
Jamur/parasit / bakteri di dalam usus
·
Alergi makanan
·
Peptide / morphin dalam urine
·
Kelainan genetik
·
Kerusakan sel & pembuluh darah otak
·
auto imunitas
·
Mineral & logam berat (Pb, Cad, Hg, As, Ai)
3.2 Diagnosa dan
Intervensi Keperawatan Umum
No.
|
Diagnosa keperawatan
|
Tujuan dan kriteria hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Kerusakan Interaksi Sosial Berhubungan Dengan Gangguan
konsep diri
|
Tujuan:
Jangka pendek
Pasien akan
mendemonstrasikan kepercayaan pada seorang pemberi perawatan
Jangka panjang
Pasien akan memulai
interaksi-interaksi sosial (fisik, verbal, nonverbal) dengan pemberi
perawatan saat pulang
Kriteria hasil :
·
Menunjukan partisipasi bermain ( 4 )
·
Menunjukan keterampilan interaksi sosial ( 3 )
·
Menunjukan perkembangan anak(3)
·
Menunjukan keterlibatan sosial(3)
|
·
Kaji pola interaksi antara pasien dan orang lain
·
Berikan informasi tentang sumber-sumber dikomunitas
·
Berikan anak benda-benda yang dikenal (misalnya mainan kesukaan
·
Sampaikan sikap yang hangat,dukungan,dan kebersediaan ketika pasien
berusaha untuk memenuhi kbutuhan-kebutuhandasarnya.
·
Muai dengan penguatan yang positif pada kontak mata ,perkenalkan secara
berangsung-angsur dengan sentuhan,pelukan .
|
·
Mengetahui pola interaksi agar dapat memberikan intervensi yang tepat
·
Membantu pasien atau meningkatkan interaksi sosial setelah pemulangan
·
Benda-benda ini memberikan rasa aman dalam waktu-waktu aman bila anak
merasa distres
·
Karakteristik-karakteristik ini meningkatkan pembentukan dan
mempertahankan hubungan saling mempercayai
·
Pasien autistik dapat merasa terancam oleh suatu rangsangan yang gencar
pada pasien tidak terbiasa
|
2.
|
Kerusakan komunkasi
verbal berhubungan dengan Stimulasi
sensorik yang tidak sesuai
|
Tujuan :
Jangka pendek
Pasien akan
membentuk kepercayaan dengan seoran pemberi perawatan
Jangka panjang
Pasien telah
membuat cara-cara untuk mengkomunikasikan (secara verbal dan non verbal )
kebutuhan-kebutuhan dan keinginan – keinginan kepada staf dengan pelaksanaan
Kriteria hasil :
·
Pasien dapat menunjukan kemampuan komunikasi (3)
|
·
Kaji dan dokumentasikan tentang pasien menyangkut komunikasi
·
Instruksikan kepada pasien dn keluarga tentang penggunaan alat bantu
bicara
·
Gunakan posisi berhadapan ,bertatapan,untuk menyampaikan
ekspresi-ekspresi non verbal yang benar
·
Berikan perawatan dalam sikap yang rileks tidak terburu-buru,dan tidak
menghakimi.
|
·
Mengetahui komunikasi yang digunakan oleh pasien
·
Memudahkan pasien untuk menyampaikan komunikasinya
·
Kontak mata mengekspresikan minat yang murni terhadap dan hormat kepada
seseorang
·
Memahami tindakan dan komunikasi pasien serta dapat melakukan perawatan
secara efktif
|
3.
|
gangguan indentitas
pribadi berhubungan dengan Stimulasi
sensorik yang tidak sesuai
|
Tujuan :
Jangka pendek
Pasien akan
menyebutkan bagian-bagian tubuh diri sendiri dan bagian-bagian tubuh dari
pemberi perawatan
Jangka panjang
Pasien akan
membentuk identitas ego ( ditunjukan oleh kemampuan untuk mengenali fisik dan emosi diri
terpisah dari orang lain ) saat pulang.
Kriteria hasil :
·
Menunjukan identitas dengan mengungkapkan penguatan identitas pribadi
(3)
|
·
Bantu anak dalam menyebutkan bagian-bagian tubuhnya
·
Tingkatkan kontak fisik secara tahap demi tahap menggunakan sntuhan
sampai kepercayaan anak telah terbentuk
·
Beritahu orang tua tentang pentingnya perhatian dan dukungan mereka terhadap
konsep diri yang positif pada perkembangan anaknya
|
·
Kegiatan ini dapat meningkatkan kewaspadaan anak terhadap diri sebagai
sesuatu yang terpisah dari orang lain
·
Agar tidak dapat diinterprestasikan sebagai suatu ancaman oleh pasien
·
Dapat meningkatkan pencapaian harga diri
|
4.
|
Resiko tinggi terhadap mutilasi diri berhubungan dengan
reaksi-reaksi yang histeris terhadap perubahan-perubahan pada lingkungan
|
Tujuan:
Sasaran Jangka Pendek
Pasien tampak tenang, mendemonstrasikan perilaku - perilaku
alternatif (misalnya : memulai interaksi antara diri dengan perawat) sebagai
respon terhadap kecemasan.
Sasaran Jangka
Panjang
Pasien tidak akan melukai diri
Kriteria Hasil :
Menunjukan penahanan mutilasi diri dengan mencari bantuan
ketika ingin merasa mecederai diri ,tidak membawa peralatan untuk mencederai
diri
|
·
Kaji respon pasien
terhadap lingkungan untuk menentukan jika ada stresor yang dapat menyebabkan
tindakan mencederai diri
·
Tindakan untuk
melindungi anak apabila perilaku-perilaku mutilatif diri, seperti mamukul-mukul/membentur-benturkan
kepala atau perilaku-perilaku histeris lainnya menjadi nyata
·
Gunakan alat-alat
protektif untuk mencegah tindakan mencederai diri
·
Bekerja pada dasar satu
perawat untuk satu anak
·
Tawarkan diri kepada anak
selama waktu-waktu meningkatnya ansietas
|
·
Mengurangi terjadinya
tindakan mencederai diri
·
Perawat bertanggung jawab untuk menjamin keselamatan pasien
·
melindungi terhadap
tindakan memukul-mukul kepala, sarung tangan untuk mencegah menarik-narik rambut,
dan pemberian bantalan yang sesuai untuk melindungi ekstremitas terluka
selama terjadinya gerakan-gerakan histeris.
·
Untuk membentuk
kepercayaan
·
Dapat menurunkan
kebutuhan pada perilaku-prilaku mutilasi diri dan memberikan rasa aman
|
BAB IV
KESIMPULAN
4.1Kesimpulan
Autisme adalah
anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi social serta
mengalami gangguan sensoris,pola bermain dan emosi. Penyebabnya karena antar
jaringan otak tidak sinkron. Ada yang maju pesat, sedangkan yang lainnya
biasa-biasa saja. Penyebab autisme sangat kompleks, tak lepas dari factor
genetika dan lingkungan social.
Terapi
penyembuhan yang diterapkan dilakukan dengan berbagai varian tehnik,
diantaranya tehnik belajar dan bermain yang dapat dilakukan secara vebal maupun
non verbal, dengan melibatkan orang tua dan ada juga yang tidak.
Inti dari
sejumlah terapi tersebut dimaksudkan untuk mengeliminir berbagai symptom yang
diperlihatkan oleh seorang anak autisme yang tentunya dapat disesuaikan dengan
kebutuhan dan tingkatan sindrom yang disandang anak.
Autisme masa
kanak kanak adalah gangguan perkembangan yg sangat kompleks. Prevalensi masih
sedang meningkat dgn pesat, Timbulnya gejala seringkali dicetuskan oleh
penyebab organ biologis. Para Profesional harus meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan supaya dapat bekerja samamelakukan pengobatan yg tepat dan
terpadu.
DAFTAR PUSTAKA
·
Sacharin, r.m.1996. Prinsip
Keperawatan Pediatrik Edisi 2. EGC:
Jakarta
·
Staf Pengajar Ilmu
Kesehatan Anak. 1985. Ilmu
kesehatan anak volume 3. FKUI : Jakarta.
·
Mary. C.T. 1998. Buku saku
diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri. EGC : Jakarta.
·
Maramis, W.F. 2005. Catatan ilmu
kedokteran jiwa. Airlangga
: Jakarta.
·
Ircham, Raden.2008.Asuhan
Keperawatan Anak Autisme. http://asuhankeperawatananak.blogspot.com/ dikunjungi pada Selasa 1
Maret 2011
·
Ahira, Anne.2009.Seputar
Penyakit Autisme. http://www.anneahira.com/penyakit-autisme.htm dikunjungi pada
Selasa 1 Maret 2011
·
Danuatmaja, B. (2004). Menu
Autis. Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara.
·
Budhiman, M. P. (2002). Langkah Awal Menanggulangi Autisme dengan
Memperbaiki Metabolisme Tubuh. Jakarta: Penerbit Majalah Nirmala.
·
Sari, I. D. (2009). Nutrisi Pada Pasien Autis. CDK (Cermin Dunia
Kedokteran) , 89-93.
·
Judarwanto, W. (2004). Alergi Makanan dan Autisme. Retrieved
November 3, 2010, from Putra Kembara: http://putrakembara.org/fajarid.shtml
·
Wardhani, Y. F. (2008). Apa dan Bagaimana Autisme itu. In Apa dan
Bagaimana Autisme; Terapi Medis Alternatif (pp. 1-37). Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
·
Handojo, Y. (2008). Autismea. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer Kelompok
Gramedia.
·
Muhardi, A. (2009, November). Autisme. Retrieved November 4, 2010,
from Autis.info: http://www.autis.info/
·
Rudy, L. J. (2007). What is the Difference Between ABA, Discrete
Trials, dan "The Lovaas Method?". Retrieved November 5, 2010,
from http://autisme.about.com/od/treatmentoptions/f/WhatisABA.htm
·
Gamayanti, I. (2003). Aspek Psikologis pada Anak Autis. Temu Ilmiah
Dietetik VI. Yogyakarta.
·
Sutadi, R. (2003). Autisme. Konferensi Nasional Autisme Indonesia.
Jakarta.