BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pola pernafasan normal adalah teratur
dengan waktu ekspirasi lebih panjang daripada waktu inspirasi, karena pada
inspirasi otot pernafasan bekerja aktif, sedangkan pada waktu ekspirasi otot
pernapasan bekerja secara pasif. Pada keadaan sakit dapat terjadi beberapa
kelainan pola pernapasan yang paling sering adalah takipneu. Ganguan pernafasan
pada bayi dan anak dapat disebabkan oleh berbagai kelainan organic, trauma,
alargi, insfeksi dan lain-lain. Gangguan dapat terjadi sejak bayi baru lahir.
RDS (Respiratory Distress
Syndrome) atau disebut juga Hyaline membrane disease merupakan hasil dari
ketidak maturan dari paru-paru dimana terjadi gangguan pertukaran gas.
Berdasarkan perkiraan 30 % dari kematian neonatus diakibatkan oleh RDS atau
komplikasi yang dihasilkannya (Behrman, 2004 didalam Leifer 2007).
Pada penyakit ini, terjadi
karena kekurangan pembentukan atau pengeluaran surfaktan sebuah kimiawi
paru-paru. Surfaktan merupakan suatu campuran lipoprotein aktif dengan permukaan
yang melapisi alveoli dan mencegah alveoli kolaps pada akhir ekspirasi. (Bobak,
2005).
Secara klinis bayi dengan
RDS menunjukkan takipnea (> 60 x/menit) , pernapasan cuping hidung, retraksi
interkosta dan subkosta, expiratory grunting (merintih) dalam beberapa jam
pertama kehidupan. Tanda-tanda klinis lain, seperti: hipoksemia dan polisitema.
Tanda-tanda lain RDS meliputi hipoksemia, hiperkabia, dan asidosis respiratory
atau asidosis campuran (Bobak, 2005).
Secara tinjauan kasus, di negara-negara
Eropa sebelum pemberian rutin antenatal steroid dan postnatal surfaktan, terdapat angka kejadian RDS 2-3%, di USA
1,72% dari kelahiran bayi hidup periode
1986-1987. Sedangkan jaman modern sekarang ini dari pelayanan NICU turun
menjadi 1%. Di negara berkembang termasuk
Indonesia belum ada laporan tentang kejadian RDS.
Respiratory Distress Syndrome
(RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD), merupakan sindrom gawat
napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan
masa gestasi kurang. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis
alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum
protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Penyebab
terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur adalah
Respiratory Distress Syndrome (RDS). Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang
bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram (lemons et al,2001).
Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan dan
menurun sejak digunakan surfaktan eksogen ( Malloy & Freeman 2000). Saat
ini RDS didapatkan kurang dari 6% dari seluruh neonatus. Defisiensi surfaktan
diperkenalkan pertamakali oleh Avery dan Mead pada 1959 sebagai faktor penyebab
terjadinya RDS.
Penemuan surfaktan untuk RDS termasuk salah satu kemajuan di bidang
kedokteran, karena pengobatan ini dapat mengurangi kebutuhan tekanan ventilator
dan mengurangi konsentrasi oksigen yang tinggi. Hasil-hasil dari uji coba
klinik penggunaan surfaktan buatan (Willkinson,1985), surfaktan dari cairan
amnion manusia ( Merrit,1986), dan surfaktan dari sejenis lembu/bovine
(Enhoring,1985) dapat dipertanggungjawabkan dan dimungkinkan. Surfaktan dapat
diberikan sebagai pencegahan RDS maupun sebagai terapi penyakit pernapasan pada
bayi yang disebabkan adanya defisiensi atau kerusakan surfaktan.
1.2.
Tujuan
Penulisan
1.2.1. Tujuan Umum
Dapat menerapkan
asuhan keperawatan anak yang aman dan efektif pada bayi baru lahir yang
beresiko tinggi (High Risk Newborn).
1.2.2. Tujuan Khusus
a.
Mengetahui
kebutuhan dan masalah keperawatan bayi baru lahir yang beresiko tinggi.
b.
Mengetahui
diagnosa keperawatan pada bayi baru lahir yang beresiko tinggi.
c.
Mengetahui
cara menyusun rencana keperawatan pada bayi baru lahir yang beresiko tinggi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan
tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar,
yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang
spesifik. Tanda-tanda klinik sesuai dengan besarnya bayi, berat penyakit,
adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA (Stark 1986).
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila
didapatkan sesak nafas berat (dyspnea ), frekuensi nafas meningkat (tachypnea
), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan
paru,adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya
atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline
membran pada saat otopsi.
Sindrom gawat napas (RDS) (juga dikenal sebagai idiopathic
respiratory distress syndrome) adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan
histologis yang terjadi terutama akibat ketidakmaturan paru dengan unit
pernapasan yang kecil dan sulit mengembang dan tidak menyisakan udara diantara
usaha napas. Istilah-istilah Hyaline Membrane Disease (HMD) sering kali
digunakan saling bertukar dengan RDS (Bobak, 2005).
Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit yang disebabkan
oleh ketidakmaturan dari sel tipe II dan ketidakmampuan sel tersebut untuk
menghasilkan surfaktan yang memadai. (Dot Stables, 2005).
2.2. Etiologi
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi
surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin
muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor
penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia
perinatal, maternal diabetes, seksual sesaria.. Surfaktan biasanya didapatkan
pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap
berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih
belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan
mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul segera setelah bayi
lahir dan akan bertambah berat.
RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom ini dapat
terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan
disesuaikan dengan penyebab sindrom ini. Kelainan dalam paru yang menunjukan
sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin
(PMH),
2.3.
Patofisiologi
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan
oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang
sempurna kerana dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna.
Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru
menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya
pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi
berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat,
hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein ,
lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar
alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi
udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan
tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya
atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal menyebabkan edema
interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari
epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus
alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan
ini.
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma
dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial
sel jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin
yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam
satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai
dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek;
pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan
dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia
(BPD).
2.4.
Pencegahan RDS
Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk
mencegah komplikasi pada bayi resiko tinggi adalah mencegah terjadinya
kelahiran prematur, mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan
indikasi medis, melaksanakan manajemen yang tepat terhadap kehamilan dan
kelahiran bayi resiko tinggi.
Tindakan
yang efektif utntuk mencegah RDS adalah:
ü Mencegah
kelahiran < bulan (premature).
ü Mencegah
tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis.
ü Management
yang tepat.
ü Pengendalian
kadar gula darah ibu hamil yang memiliki riwayat DM.
ü Optimalisasi
kesehatan ibu hamil.
ü Kortikosteroid
pada kehamilan kurang bulan yang mengancam.
ü Obat-obat tocolysis (β-agonist :
terbutalin, salbutamol) relaksasi uterus
Contoh :
Salbutamol (ex: Ventolin Obstetric injection) 5mg/5 ml (utk asma: 5 mg/ml)
Untuk
relaksasi uterus : 5 mg salbutamol dilarutkan dalam infus 500 ml dekstrose/NaCl
diberikan i.v (infus) dgn kecepatan 10 – 50 μg/menit dgn monitoring cardial
effect. Jika detak jantung ibu > 140/menit kecepatan diturunkan atau obat
dihentikan
ü Steroid
(betametason 12 mg sehari untuk 2x pemberian,
deksametason 5 mg setiap 12 jam untuk 4 x pemberian)
ü Cek kematangan paru (lewat cairan
amniotik pengukuran
rasio lesitin/spingomielin : > 2 dinyatakan mature lung function)
2.5. Manifestasi
Klinis
Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi
oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan,
semakin berat gejala klinis yang ditujukan.
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan
kerosakan sel dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam
alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul
iaitu : adanya sesak nafas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang
ditandai dengan takipnea (> 60 x/minit), pernafasan cuping hidung, grunting,
retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama
setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium
RDS yaitu :pertama, terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit
bronchogram udara, kedua, bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan
paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai
ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
ketiga,alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat
lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih
luas. keempat, seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak
dapat dilihat.
Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe :
0
|
1
|
2
|
|
Frekuensi Nafas
|
< 60x/menit
|
60-80 x/menit
|
>80x/menit
|
Retraksi
|
Tidak ada retraksi
|
Retraksi ringan
|
Retraksi berat
|
Sianosis
|
Tidak sianosis
|
Sianosis hilang
dengan O2
|
Sianosis menetap
walaupun diberi O2
|
Air Entry
|
Udara masuk
|
Penurunan ringan udara masuk
|
|
Merintih
|
Tidak merintih
|
Dapat didengar
dengan stetoskop
|
Dapat didengar
tanpa alat bantu
|
Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe
Skor <
4
|
gangguan pernafasan ringan
|
Skor 4 – 5
|
gangguan
pernafasan sedang
|
Skor >
6
|
gangguan pernafasan ringan
(pemeriksaan gas darah harus dilakukan)
|
2.6. Penunjang /
Diagnostik
Laboratory
Evaluation for Respiratory Distress in the Newborn
Test
|
Indication
|
Blood
culture
|
May
indicate bacteremia Not helpful initially because results may take 48 hours
|
Blood gas
|
Used to
assess degree of hypoxemia if arterial sampling, or acid/base status if
capillary sampling (capillary sample usually used unless high oxygen
requirement)
|
Blood
glucose
|
Hypoglycemia
can cause or aggravate tachypnea
|
Chest
radiography
|
Used to
differentiate various types of respiratory distress
|
Complete
blood count with differential
|
Leukocytosis or bandemia indicates stress or
infection
|
Neutropenia
correlates with bacterial infection
|
|
Low
hemoglobin level shows anemia
|
|
High
hemoglobin level occurs in polycythemia
|
|
Low
platelet level occurs in sepsis
|
|
Lumbar
puncture
|
If
meningitis is suspected
|
Pulse
oximetry
|
Used to
detect hypoxia and need for oxygen supplementation
|
2.7. Penatalaksanaan
Menurut
Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk mengatasi
masalah kegawatan pernafasan meliputi :
1) Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
2) Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3) Mempertahankan suhu lingkungan netral.
4) Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
5) Mencegah hipotermia.
6) Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
Penatalaksanaan secara umum :
a. Pasang jalur
infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan bila bayi
tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
ü Pantau
selalu tanda vital
ü Jaga kepatenan
jalan nafas
ü Berikan
Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi
mengalami apneu
ü Lakukan
tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
ü Lakukan
penilaian lanjut
c. Bila
terjadi kejang potong kejang
d. Segera
periksa kadar gula darah
e. Pemberian
nutrisi adekuat
Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai dengan
kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Menajemen spesifik
atau menajemen lanjut:
Gangguan nafas ringan
Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan pada waktu
lahir tanpa gejala-gejala lain disebut “Transient Tacypnea of the Newborn”
(TTN). Terutama terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan
membaik dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun demikian, pada beberapa
kasus. Gangguan napas ringan merupakan tanda awal dari infeksi sistemik.
Gangguan nafas sedang
Lakukan pemberian O2 2-3 liter/
menit dengan kateter nasal, bila masih sesak dapat diberikan o2 4-5 liter/menit
dengan sungkup. Bayi jangan diberi minum.
Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin)
untuk terapi kemungkinan besar sepsis.
o Suhu aksiler
<> 39˚C
o Air ketuban
bercampur mekonium
o Riwayat
infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah dini (>
18 jam)
Bila suhu
aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C. tangani untuk masalah suhu abnormal dan
nilai ulang setelah 2 jam:
Bila suhu
masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada perbaikan, berikan antibiotika
untuk terapi kemungkinan besar seposis
Jika suhu
normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali abnormal ulangi tahapan
tersebut diatas.
Bila tidak
ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam
Apabila bayi
tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2 jam, terapi
untuk kemungkinan besar sepsis
Bila bayi
mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangai terapi o2secara bertahap .
Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2 jam. Jika tidak dapat menyusu,
berikan ASI peras dengan memakai salah satu cara pemberian minum
Amati bayi
selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi kembali tampak
kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minumbaik dan tak ada alasan bayi
tatap tinggal di Rumah Sakit bayi dapat dipulangkan.
Gangguan nafas berat
Amati pernafasan bayi setiap 2 jam
selama 6 jam berikutnya.
Bila dalam
pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya. Terapi
untuk kemungkinan kesar sepsis dan tangani gangguan nafas sedang dan dan segera
dirujuk di rumah sakit rujukan.
Berikan ASI
bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan ASI peras dengan menggunakan salah
satu cara alternatif pemberian minuman.
Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada
perbaikan gangguan napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara
30-60 kali/menit.
Penatalaksanaan medis:
Pengobatan yang
biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
ü Antibiotika
untuk mencegah infeksi sekunder
ü Furosemid
untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan caiaran paru
ü Fenobarbital
ü Vitamin E menurunkan produksi
radikalbebas oksigen
ü Metilksantin ( teofilin dan kafein
) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian dari pemakaian ventilasi
mekanik. (cusson,1992)
Salah satu pengobatan terbaru dan
telah diterima penggunaan dalam pengobatan RDS adalah pemberian surfaktan
eksogen ( derifat dari sumber alami misalnya manusia, didapat dari cairan
amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan ).
2.8. Komplikasi
Penyakit
Komplikasi jangka pendek dapat terjadi : 1. kebocoran alveoli :
Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak, pneumomediastinum,
pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba
memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya
asidosis yang menetap. 2. Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk
dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul
kerana tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat
respirasi. 3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular :
perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh keracunan oksigen, tekanan
yang tinggi dalam paru, memberatkan penyakit dan kekurangan oksigen yang menuju
ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi : 1.
Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang
disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD
berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu
menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi
vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi. 2. Retinopathy
prematur Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang
berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan
adanya infeksi.
2.9. Asuhan
Keperawatan
Pengkajian
A. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu (> 60 kali/menit),
pernafasan mendengkur, retraksi subkostal/interkostal, pernafasan cuping
hidung, sianosis dan pucat, hipotonus, apneu, gerakan tubuh berirama, sulit
bernafas dan sentakan dagu. Pada awalnya suara nafas mungkin normal kemudian
dengan menurunnya pertukaran udara, nafas menjadi parau dan pernapasan dalam.
Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan pernafasan dapat
dilihat dari penilaian fungsi respirasi dan penilaian fungsi kardiovaskuler.
Penilaian fungsi respirasi meliputi:
1) Frekuensi
nafas
Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi. Takhipneu
tanpa tanda lain berupa distress pernafasan merupakan usaha kompensasi terhadap
terjadinya asidosis metabolik seperti pada syok, diare, dehidrasi,
ketoasidosis, diabetikum, keracunan salisilat, dan insufisiensi ginjal kronik.
Frekuensi nafas yang sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada hipotermi,
kelelahan dan depresi SSP yang merupakan tanda memburuknya keadaan klinik.
2) Mekanika usaha pernafasan
Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi
dinding dada, yang sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit
alveolar. Anggukan kepala ke atas, merintih, stridor dan ekspansi memanjang
menandakan terjadi gangguan mekanik usaha pernafasan.
3) Warna
kulit/membran mukosa
Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat berbercak (mottled),
tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin.
v
Penilaian fungsi kardiovaskuler
meliputi:
1) Frekuensi jantung dan tekanan
darah
Adanya sinus tachikardi merupakan respon umum adanya stress, ansietas,
nyeri, demam, hiperkapnia, dan atau kelainan fungsi jantung.
2) Kualitas nadi
Pemeriksaan kualitas nadi sangat penting untuk mengetahui volume dan aliran
sirkulasi perifer nadi yang tidak adekwat dan tidak teraba pada satu sisi
menandakan berkurangnya aliran darah atau tersumbatnya aliran darah pada daerah
tersebut. Perfusi kulit kulit yang memburuk dapat dilihat dengan adanya bercak,
pucat dan sianosis.
v
Pemeriksaan pada pengisian kapiler
dapat dilakukan dengan cara:
1) Nail Bed Pressure ( tekan
pada kuku)
2) Blancing Skin Test, caranya yaitu dengan meninggikan sedikit
ekstremitas dibandingkan jantung kemudian tekan telapak tangan atau kaki
tersebut selama 5 detik, biasanya tampak kepucatan. Selanjutnya tekanan dilepaskan
pucat akan menghilang 2-3 detik.
3) Perfusi pada otak dan respirasi
Gangguan fungsi serebral awalnya
adalah gaduh gelisah diselingi agitasi dan letargi. Pada iskemia otak mendadak selain terjadi penurunan kesadaran juga terjadi
kelemahan otot, kejang dan dilatasi pupil.
2.10. Diagnosa
Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas yang
berhubungan dengan imatur paru dan dinding dada atau berkurangnya jumlah cairan
surfaktan.
2) Tidak efektifnya bersihan jalan
nafas yang berhubungan dengan adanya sekret pada jalan nafas dan obstruksi atau
pemasangan intubasi trachea yang kurang tepat.
3) Tidak efektifnya pola nafas yang
berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan ventilator, tidak berfungsinya
ventilator dan posisi bantuan ventilator yang kurang tepat.
4) Resiko injuri yang berhubungan
dengan ketidakseimbangan asam basa; O2 dan CO2 dan
barotrauma (perlukaan dinding mukosa) dari alat bantu nafas.
5) Resiko perubahan peran orang tua
yang berhubungan dengan hospitalisasi, sekunder dari situasi krisis pada bayi.
6) Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan yang
tidak disadari (insensible water loss).
7) Intake nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan
menelan, maturitas gastrik menurun dan kurangnya absorpsi.
2.11. Intervensi Keperawatan
Dx. 1 Gangguan
pertukaran gas b.d imaturitas paru dan
neuromuskular, defisiensi surfaktan dan ketidakstabilan alveolar.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
pola nafas efektif.
KH:
v Jalan nafas bersih
v Frekuensi jantung 100-140 x/i
v Pernapasan 40-60 x/i
v Takipneu atau apneu tidak ada
v Sianosis tidak ada
Intervensi
a. Posisikan untuk
pertukaran udara yang optimal; tempatkan pada posisi telentang dengan leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap keatap dalam posisi
’mengendus’
Rasional: untuk mencegah adanya penyempitan jalan nafas.
b. Hindari
hiperekstensi leher
Rasional: karena akan mengurangi diameter trakea.
c. Observasi
adanya penyimpangan dari fungsi yang diinginkan , kenali tanda-tanda distres
misalnya: mengorok, pernafasan cuping hidung, apnea.
Rasional: memastikan posisi sesuai dengan
yang diinginkan dan mencegah terjadinya distres pernafasan.
d. Lakukan penghisapan
Rasional: menghilangkan mukus yang
terakumulasi dari nasofaring, trakea, dan selang endotrakeal.
d. Penghisapan selang endotrakeal
sebelum pemberian surfaktan
Rasional: memastikan bahwa jalan napas
bersih.
f. Hindari
penghisapan sedikitnya 1 jam setelah pemberian surfaktan
Rasional: meningkatkan absorpsi ke dalam
alvelolar
g. Observasi
peningkatan pengembangan dada setelah pemberian surfaktan.
Rasional: menilai fungsi pemberian
surfaktan.
h. Turunkan
pengaturan, ventilator, khususnya tekanan inspirasi puncak dan oksigen
Rasional: mencegah hipoksemia dan distensi paru yang berlebihan.
Dx 2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya
fungsi jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan
nafas ditandai dengan : dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot
pernafasan, batuk dengan atau tanpa sputum, cyanosis.
Tujuan :
-
Pasien dapat
mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih dan ronchi (-)
-
Pasien bebas
dari dispneu
-
Mengeluarkan
sekret tanpa kesulitan
-
Memperlihatkan
tingkah laku mempertahankan jalan nafas
Tindakan :
Independen
-
Catat
perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya
Penggunaan
otot-otot interkostal/abdominal/leher dapat meningkatkan usaha dalam bernafas
-
Observasi
dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan fremitus
Pengembangan
dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan dan adanya cairan dapat
meningkatkan fremitus
-
Catat
karakteristik dari suara nafas
Suara nafas
terjadi karena adanya aliran udara melewati batang tracheo branchial dan juga
karena adanya cairan, mukus atau sumbatan lain dari saluran nafas
-
Catat
karakteristik dari batuk
Karakteristik
batuk dapat merubah ketergantungan pada penyebab dan etiologi dari jalan nafas.
Adanya sputum dapat dalam jumlah yang banyak, tebal dan purulent
-
Pertahankan
posisi tubuh/posisi kepala dan gunakan jalan nafas tambahan bila perlu
Pemeliharaan
jalan nafas bagian nafas dengan paten
-
Kaji
kemampuan batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi dan lakukan suction bila
ada indikasi
Penimbunan
sekret mengganggu ventilasi dan predisposisi perkembangan atelektasis dan
infeksi paru
-
Peningkatan
oral intake jika memungkinkan
Peningkatan
cairan per oral dapat mengencerkan sputum
Kolaboratif
-
Berikan
oksigen, cairan IV ; tempatkan di kamar humidifier sesuai indikasi
Mengeluarkan
sekret dan meningkatkan transport oksigen
-
Berikan
therapi aerosol, ultrasonik nabulasasi
Dapat
berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan sekret
-
Berikan
fisiotherapi dada misalnya : postural drainase, perkusi dada/vibrasi jika ada
indikasi
Meningkatkan
drainase sekret paru, peningkatan efisiensi penggunaan otot-otot pernafasan
-
Berikan
bronchodilator misalnya : aminofilin, albuteal dan mukolitik
Diberikan
untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan viskositas sekret dan meningkatkan
ventilasi
Diagnosa 3. Tidak efektifnya pola nafas yang
berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan ventilator, tidak berfungsinya
ventilator dan posisi bantuan ventilator yang kurang tepat.
Tindakan :
Independen
- Kaji status
pernafasan, catat peningkatan respirasi atau perubahan pola nafas
Takipneu
adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia dan peningkatan usaha nafas
- Catat ada
tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan seperti crakles, dan
wheezing
Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada
ditemukan. Crakles terjadi karena peningkatan cairan di permukaan jaringan yang
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas membran alveoli – kapiler. Wheezing
terjadi karena bronchokontriksi atau adanya mukus pada jalan nafas
-
Kaji adanya
cyanosis
Selalu berarti bila diberikan oksigen (desaturasi 5 gr
dari Hb) sebelum cyanosis muncul. Tanda cyanosis dapat dinilai pada mulut,
bibir yang indikasi adanya hipoksemia sistemik, cyanosis perifer seperti pada
kuku dan ekstremitas adalah vasokontriksi.
-
Observasi
adanya somnolen, confusion, apatis, dan ketidakmampuan beristirahat
Hipoksemia
dapat menyebabkan iritabilitas dari miokardium
-
Berikan
istirahat yang cukup dan nyaman
Menyimpan
tenaga pasien, mengurangi penggunaan oksigen
Kolaboratif
-
Berikan
humidifier oksigen dengan masker CPAP jika ada indikasi
Memaksimalkan
pertukaran oksigen secara terus menerus dengan tekanan yang sesuai
-
Berikan
pencegahan IPPB
Peningkatan
ekspansi paru meningkatkan oksigenasi
-
Review X-ray
dada
Memperlihatkan
kongesti paru yang progresif
-
Berikan
obat-obat jika ada indikasi seperti steroids, antibiotik, bronchodilator dan
ekspektorant
Untuk
mencegah ARDS
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sindrom distres pernafasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem
pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan
sebagai Hyaline Membrane Disesae (Suryadi dan Yuliani, 2001).
3.2 Saran
Semoga Makalah ni dapat berguna bagi penyusun dan pembaca. Kritik dan
saran sangat diharapkan untuk pengerjaan berikutnya yang lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
Bobak,
Lowdermik. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta : EGC
Leifer,
Gloria. 2007. Introduction to maternity
& pediatric nursing. Saunders Elsevier : St. Louis Missouri
Prwawirohardjo,
Sarwano. 2005. Ilmu Kebidanan.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Mansjoer. (2002). Kapita selekta kedokteran. Edisi
III. Jakarta: FKUI.: EGC.
Wong. Donna L. (2004). Pedoman klinis
keperawatan pediatrik. Jakarta: EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar